Ternyata Cinta Tidak Mustahil Abadi

Salah satu alasan utama penghujat ‘pacaran islami’ adalah seruan: “Oiii … Ternyata Cinta tuh, Nggak Abadi!” (KHP: 130). Benarkah seruan ini? Mari kita periksa.

KHP mendasarkan seruannya itu pada pernyataan antropolog Helen Fischer bahwa “kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan” dan “kalaupun bertahan, pasti karena faktor-faktor lain” di luar cinta (KHP: 132). Mengapa hanya empat tahun masa perkawinan? Menurut teori Fischer (Four Years Itch), itu karena bekerjanya sejumlah hormon yang diproduksi di otak selama orang jatuh cinta hanya empat tahun (KHP: 132).

Layakkah teori itu untuk dijadikan sandaran? Dalam pengamatan saya, penyandaran tersebut sesat-pikir lantaran ‘bersandar pada otoritas’ yang tidak tepat. (Lihat JSP: 12-13.) Lain halnya bila yang dirujuk ialah pakarnya: psikolog atau dokter yang berkecimpung di bidang hormon. Sekalipun begitu, mungkin masih ada manfaatnya bila kita periksa teorinya. Sebab itu, marilah kita asumsikan bahwa Helen Fischer memang ahli di bidang hormon.

Menurut teori Four Years Itch itu, hormon pemicu gelora cinta cuma bertahan sekitar empat tahun, setelah itu tak berbekas lagi. Karenanya, KHP menyimpulkan dengan memakai hitung-hitungan, “misalnya, orang yang pacarannya sudah tiga tahun, berarti kan [gelora cintanya] cuma bisa bertahan setahun setelah menikah, hehehe…” (KHP: 132)

Akan tetapi, kita bisa bertanya-tanya: Benarkah teori tersebut? Kalau iya, mengapa daya tahan hormon penggelora itu empat tahun saja? Apakah sudah merupakan ‘kodrat biologis’ yang berlaku universal sepanjang masa? Mungkinkah karena itu pria yang berpoligami cenderung lebih mencintai istri-baru daripada istri-lama? Dan yang bermonogami tergoda untuk berselingkuh? Ataukah karena penghayatan interaksi dengan lawan-jenis secara ‘modern’ lah penyebab sang hormon berumur pendek? Bukankah angka empat tahun itu hanya data statistik dari penelitian terhadap sekian orang di zaman modern ini?

Pertanyaan utama kita: Apakah teori four years itch itu berlaku pula pada gelora cinta Muhammad Rasulullah saw. kepada istri-istri beliau? Mari kita periksa melalui hadits-hadits.

Aisyah r.a. berkata: “Tidak ada rasa cemburuku terhadap salah seorang dari istri-istri Nabi saw. yang melebihi rasa cemburuku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, [rasa cemburuku itu timbul] karena Nabi saw. sering menyebut-nyebut dia. …” (HR Bukhari dan Muslim) Dari Aisyah r.a., dia berkata: “… aku berkata [kepada Rasulullah saw.]: ‘Apa yang membuatmu selalu teringat kepada salah seorang nenek dari nenek-nenek kabilah Quraisy itu? Dia sudah tua renta dan telah habis ditelan masa [karena telah lama meninggal dunia]. Bukankah Allah sudah memberimu pengganti yang lebih baik daripada dia?’” (HR Bukhari dan Muslim. Dan dalam satu hadits riwayat Ahmad disebutkan, Rasulullah saw. menjawab: “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada dia.” [FBSSB8: 141])

Hadits-hadits itu mengisyaratkan, rasa cinta Rasulullah saw. kepada istri pertama, yaitu Khadijah r.a., tetap bergelora walau sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan kendati dia sudah wafat dan Nabi saw. telah menikah lagi. Gelora tersebut tampaknya begitu besar, sampai-sampai istri lain yang masih hidup sangat cemburu.

Apakah abadinya cinta beliau itu khusus bagi Khadijah r.a.? Mari kita tengok dua hadits shahih lainnya:

Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw., ketika sakit yang membawa beliau ajal, bertanya: “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Yang beliau maksud adalah hari giliran Aisyah. Lalu istri-istri beliau memberi izin kepada beliau untuk tinggal di mana saja yang beliau inginkan. Ternyata beliau memilih rumah Aisyah sampai beliau meninggal. (HR Bukhari dan Muslim) Sebelum itu, Aisyah r.a. pernah berkata: “Kaum muslimin pada saat ini sudah mengetahui betapa cintanya Rasulullah saw. kepada Aisyah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sewaktu menghadapi sakaratul-maut itu, sudah berapa lama Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah r.a.? Dalam kitab Fathul Bari, jilid 8, disebutkan bahwa Nabi saw. wafat ketika Aisyah berusia delapanbelas tahun (KW1: 187). Adapun Aisyah r.a. berkata: “Nabi saw. menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. … [walau] ibuku menyerahkan aku kepada beliau ketika aku baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari dan Muslim) Jadi, ketika itu Aisyah r.a. telah menikah dengan beliau selama duabelas tahun.

Jika teori Four Years Itch berlaku pada diri beliau, dan dengan asumsi bahwa rasa cinta beliau dimulai pada saat nikah, maka tentunya yang paling dicintai beliau pada akhir hayat itu adalah istri terbaru yang belum sampai empat tahun beliau nikahi. Namun, hadits-hadits tersebut mengisyaratkan, yang paling beliau cintai (nomor dua sesudah Khadijah r.a.) justru istri ‘terlama’ (di antara yang masih hidup) yang telah beliau nikahi selama duabelas tahun!

Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa Rasulullah saw. telah membuktikan, gelora asmara itu bisa abadi, sekurang-kurangnya sampai akhir hayat, bukan hanya empat tahun. Selain itu, tampaknya istri yang lebih dia cintai adalah yang lebih lama dan lebih akrab dalam berinteraksi dengan beliau. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya kita bersikap?

Jika Anda dan calon pasangan hidup Anda berkepribadian seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan merasa mustahil meniru pola cinta Rasulullah saw. (terutama terhadap Khadijah r.a. dan Aisyah r.a.), maka mungkin tidak ada salahnya kalian pilih strategi “tidak ada cinta sebelum nikah”. Dengan memulai asmara hanya pada saat ijab-qabul, kalian bisa mengharap gelora cinta yang maksimal selama empat tahun pertama pernikahan.

Akan tetapi, kalau kepribadian Anda dan calon pasangan hidup Anda tidak seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan kalian yakin bahwa pola cinta Rasulullah saw. terhadap lawan-jenis di zaman ‘kuno’ itu bisa diterapkan di era ‘modern’ ini, maka bisa dimengerti bila kalian optimis mampu memperpanjang ‘usia harapan hidup’ si hormon penggelora asmara di tubuh kalian selama mungkin! Meskipun kalian pacaran selama empat tahun sebelum nikah, misalnya, insya’ Allah gelora cinta kalian tidak akan padam pada saat ijab-qabul dan bahkan masa-masa sesudahnya, hingga akhir hayat kalian berdua!

Aisha Chuang menegaskan, asmara islami tak pernah merupakan akhir. Selalu ada kelanjutannya atau harapan bagi yang menjalaninya. Dengan kata lain, cinta sejati merupakan proses yang idealnya berlangsung abadi. (NAI: 50)